Selasa, 25 Januari 2011

Phinisi Sunda Kelapa Oh Nasibmu



Perairan teluk Jakarta meninggalkan beberapa bangunan bersejarah bahwa negeri ini begitu lama dikangkangi oleh tuan-tuan asal Eropa. Museum bahari yang letaknya di sebelah barat muara sungai Ciliwung menjadi saksi, betapa negeri ini begitu menggairahkan karena menghasilkan rempah,kopi, teh,dan hasil bumi lainnya. Di sanalah Belanda dulu menyimpan barang dagangannya sebelum mengangkutnya ke Eropa. Berbahan dasar kayu yang kokoh-pada saat itu melimpah mungkin ilegal logging belum dijadikan janji seorang kepala daerah untuk menumpasnya saat kampanye pilkada di Sumatera,Kalimantan,Sulawesi atau Papua -untuk lantai dan kusen serta pintu-pintunya hingga sekarang masih nampak kokoh. Sementara pelabuhan yang hingga kini juga masih bisa kita saksikan adalah pelabuhan Sunda Kelapa dengan kapal-kapal model phinisi atau kapal Bugis. Meskipun era terus berputar, kapal dengan bahan dasar kayu itu masih tetap beroperasi melayani rute beberapa pelabuhan di Sumatera dan Kalimantan. Kapal phinisi sekarang juga dilengkapi dengan mesin, agar bisa menembus sungai-sungai ke pelosok dua pulau tersebut. Mau tahu apa muatan kapal-kapal itu? Bermacam-macam, semen, air mineral, beras, bahan dan alat penambang timah, dan beberapa kebutuhan bahan pokok lain. Ketika para pembalak masih bebas membabat hutan, kapal phinisi dari Sumatera atau Kalimantan penuh dengan muatan kayu legal tentunya, meski sebetulnya ilegal. Kapal-kapal yang kembali ke pelabuahan Sunda Kelapa sekarang banyak yang tanpa muatan, paling limbah dari pengolahan buah sawit sebagai bahan makanan ternak. Akankah kejayaan phinisi di lautan luas Nusantara terus mengibarkan merah putih, di tengah munculnya kapal motor bertonase besar dan kecepatan tinggi, dan tangguh dengan deburan ombak 4 hingga 7 meter,seperti pada beberapa hari terakhir ini. Phinisi harus terus berlayar supaya pasokan kebutuhan pokok tidak tertunda, meski phinisi tidak mengangkut cabai, tapi setidaknya bisa menekan harga cabai yang terus melambung hingga 1oo ribu rupiah per kg. Jangan sampai kapal China terus berduyun-duyun menumpahkan berkarung-karung cabai. Phinisiku aku titipkan negeriku yang maritim ini kepadamu.

Rusa Totol di Istana Bogor


Menyaksikan rusa totol yang sedang merumput di Istana Bogor memang jarang-jarang dilakukan oleh orang Bogor, mungkin sudah terbiasa melihat meskipun sebenarnya mereka juga belum pernah melihatnya lebih dekat. Saya pernah ke Istana Bogor pada era presiden Suharto, bukan atas undangan Pak Harto tentunya tetapi semata kepengin melihat bangunan yang menurut saya bersejarah karena jadi tempat peristirahatan 38 orang gubernur jenderal Belanda dan satu orang gubernur jenderal Inggris, tentuya jadi peristirahatan Presiden RI dan keluarga serta kerabatnya pada zaman republik ini berdiri. Namun kunjungan itu terjadi beberapa tahun lalu sehingga rasanya saya kangen dengan Bogor, terutama Istana Bogor, sambil berkhayal punya rumah dengan halaman 28,4 hektar. Melihat arsitekturnya Istana Bogor bergaya Eropa abad ke-19, saya juga akan puas kalau suatu saat ada sayembara dalam rangka peringatan hari raya kemerdekaan RI pemenangnya menginap di istana itu selama seminggu atau sebulan. Wah pasti bisa merasakan enaknya jadi gubernur jenderal yang menguasai seantero negeri, maaf gak kepengin berhayal jadi presiden RI karena masih lama berkuasanya sampai 2014 belum lagi Bu Ani juga sepertinya berminat juga. Kembali membicarakan rusa totol, Istana Bogor sekarang ini tampak eksotik dengan semakin banyaknya rusa-rusa yang bebas berkeliaran. Populasi rusa totol terus meningkat karena terus beranakpinak. Betapa bahagianya pada pagi hari ke belakang istana dapat menghirup udara segar yang berasal dari Kebun Raya Bogor, jalan ke depan istana bisa memberi makan rusa-rusa totol. Bisa gak yach suatu hari pelihara rusa totol di halaman rumah, masa sich kalah saing sama Bahasyim Assifie yang sedang kena masalah dengan kekayaanya sebagai pejabat di direktorat jenderal pajak, dia itu pelihara rusa lho di rumah tinggalnya di daerah Rempoa Jakarta Selatan. Rusa totol tetap indah dilihat di padang rumput tidah harus jadi gubernur jenderal atau pegawai DJP.

Sabtu, 28 Agustus 2010

Bemo yang tergilas metropolitan


Masih ada bemo di Jakarta? Mungkin Anda akan bertanya ulang. Masih ada gak ya? Jawabnya tentu masih ada, meski tinggal sisa-sisanya saja yang ada. Beberapa waktu lalu saya melewati Jatibaru Tenabang ada beberapa bemo yang sepertinya kehabisan tenaga, yang bersaing dengan moda transportasi modern transjakarta yang merupakan karya petinggi Jakarta kala itu Sutiyoso, atau akan digempur oleh MRT yang masih baru cita-citanya Bang Foke Kumis.

Bemo alata transportasi masa lampau, tidak akan ditemui di jalan-jalan atau minimal sebuang gang di Jakarta, kota ini sudah penuh sesak, pejalan kaki saja kerepotan waktu jalan di Tanabang menjelang lebaran, maklum semua berjuang ingin dapat pakaian baru jelang hari raya. Kalau di antara kita ada yang bijak ada jalur khusus untuk bemo, ada jalur khusus sepeda, atau jalur khusus bajaj, ada jalur khusus untuk andong,kota ini akan jadi tujuan wisata romantis bagi orang-orang Eropa yang pernah tinggal di sisni -tentunya para generasi ke 17 nya Jenderal Coen. Sayang kita tidak punya selera terhadap peninggalan sejarah yang sebetulnya laku dijual, liat saja kota tua Jakarta, tak terawat.

Kembali pada nasib bemo, sebetulnya saya sich tidak terlalu sedih jika dibuat museum untuk mengenangnya, bangsa ini terlalu sombong buang sesuatu yang lama, mending yang baru buatan sendiri itupun barang import dari Jepang, Korea, atau Malay seperti proton yang menguras devisa negara.

Alasanya bikin macet, macet itu kan karena tidak pernah membuat solusi cepat untuk mengatasinya,malah lebih baik memindah ibukota, memangnya kalau ibukota pindah siapa yang mau ikut presiden, saya sich tetap di sini bersama 12 juta penduduk lain. Artinya Jakarta ya tetap macet. Jadi jangan cuma melarang bemo beroperasi tapi segera realisasikan MRT, lanjutkan monorel, buat subway, atau waterway di atas Ciliwung yang suatu saat airnya jernih seperti di muaranya. Bisa gak Bang Foke? Kalau tidak cukup satu periode saja jangan lantas punya partai baru yaa....

borobudur tetap menawan


meski usianya kian menua tak layaknya manusia, jika perempuan akan jadi seorang nenek yang keriput, apabila lelaki akan menjadi kakek renta yang berjalan terhuyung. tak demikian dengan borobudur di kawasan muntilan jawa tengah sosoknya kian menawan,yang belum sempat menyambanginya senantiasa bertanya pada dirinya kapan saya bisa ke sana ya, yang sudah acapkali kesana juga terkenang-kenang untuk kembali, apalagi yang memiliki kesan romantik terkait dengan kisah asmara,meski ada mitos jika pasangan muda-mudi yang sedang berpacaran dimohon tak berkunjung ke borobudur karena bisa menyebabkan keretakan hubungan bahkan bisa terputusnya jalinan cinta. tapi saya tidak percaya kata seorang pengunjung yang pada masa pacaran fotonya sedang berduaan itu diunggah pada akun fb nya,sampai kini belum lekang dengan pasangannya itu. kembali pada borobudur yang masih anggun di usianya yang sudah beberapa abad tetap mengagumkan, saya tentunya bangga sebagai bangsa yang memiliki peninggalan leluhur itu. betapa perkasanya bangsaku bisa membangun candi yang megah itu, masa itu tentunya belum ada alat berat yang membantu mengangkat batu-batu besar, belum ada pabrik semen, belum ada kontraktor besar yang selalu menang tanpa tender, namun karyanya memiliki cita rasa seni yang tinggi. kalau ada narasumber yang masih hidup televisi pasti sering mewawancarainya, berapa lama membangun candi itu, pakai alat apa kok bisa semegah itu, atau berapa untungnya dari membangun proyek mercusuar itu dari sang wangsa penguasa saat itu syalaindra. ada tidak mandornya yang harus berurusan dengan kpk. tetapi sepertinya borobudur dibangun dengan ketulusan sehingga kemegahannya tetap abadi,tidak seperti pembangunan proyek proyek masakini yang dananya disunat untuk pilkada seorang petahana kepala daerah yang ingin memajukan dirinya,isteri mudanya, putera bungsunya atau dirinya yang turun pangkat cukup jadi wakil walikota.

Selasa, 29 Juni 2010

Yogyakarta Alun-Alunmu Kini










Alun alun Yogyakarta yang menjadi area untuk warga Yogya berekspresi,berkesenian, berbudaya, atau berjalan mundur untuk bisa lulus menembus dua beringin kurung, kini tampak semrawut dengan berdirinya tenda-tenda yang menjadi atap bagi pedagang kaki 5. Pada sisi kemanusiaan memperbolehkan para pedagang membangun tenda tentu hal yang bijaksana apalagi jika Ngarso Dalem memberikan peluang untuk itu, tentunya izinnya tidak dikeluarkan oleh sultan , terlalu remeh temeh. Namun mata rasanya tidak sedap, apalagi Yogya senantiasa menjadi magnet bagi wisatawan lokal maupun dari negeri manca. Waktu saya ke Yogya pada Mei lalu masih ada rombongan atau perorangan bule-bule baik yang dari Belanda maupun Australia yang menyambangi keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu. Maka akan sangat indah kalau pedagang kaki 5 di sekitar alun alun itu direlokasi, tujuanya bukan mengusir para pedagang kecil tetapi semata-mata untuk kesejukan mata memandang, kalau Yokyakarta ku tetap jadi tujuan wisata yang eksotik dan menawan.

Minggu, 14 Februari 2010

Kota Tua Batavia
















Batavia merupakan pusat administrasi pemerintah kolonial Hindia Belanda,masyarakat Jakarta lebih akrab menyebutnya kota tua, terlepas bahwa Hindia Belanda telah mencengkeram kukunya di bumi pertiwi, di sinilah jejak sejarah Batavia bisa kita telusuri. Gedung utama yang sekarang dijadikan museum sejarah Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan kantor petinggi Hindia Belanda, JP Coen, Daendeles pernah berkantor di sini. Pendek kalimat disinilah segala urusan di kendalikan termasuk ruang sidang pengadilan yang dilengkapi dengan penjara bawah tanah. Jika kita telusuri wilayah kota tua Jakarta tidak begitu luas, maklum saja pada saat itu penduduk Batavia belum sepesat sekarang. Tak jauh dari pusat pemerintahan kita bisa menyaksikan gedung-gedung tua pusat perniagaan kawasan Kali Besar, konon di sinilah para elit Eropa mengendalikan perniagaan. Seiring dengan berkembangnya kota Batavia dibangunlah wilayah baru hingga istana gambir yang lebih lazim sebagai istana negara sekarang.
Namun disayangkan gedung-gedung tua yang bernilai sejarah itu keberadaanya tidak terurus, padahal bangunan itu memilikiu usia yang sama dengan beberapa kota di Eropa seperti di Maastricth, arsitektur stasiun kota yang tidak jauh dari museum sejarah Jakarta memiliki kesamaan dengan stasiun di Helsinki. Jika kita bisa merawat maka kita juga memiliki peninggalan yang bisa dikomoditaskan untuk wisata museum, seperti programnya Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata "Visit Museum Year 2010"