




Masih ada bemo di Jakarta? Mungkin Anda akan bertanya ulang. Masih ada gak ya? Jawabnya tentu masih ada, meski tinggal sisa-sisanya saja yang ada. Beberapa waktu lalu saya melewati Jatibaru Tenabang ada beberapa bemo yang sepertinya kehabisan tenaga, yang bersaing dengan moda transportasi modern transjakarta yang merupakan karya petinggi Jakarta kala itu Sutiyoso, atau akan digempur oleh MRT yang masih baru cita-citanya Bang Foke Kumis.
Bemo alata transportasi masa lampau, tidak akan ditemui di jalan-jalan atau minimal sebuang gang di Jakarta, kota ini sudah penuh sesak, pejalan kaki saja kerepotan waktu jalan di Tanabang menjelang lebaran, maklum semua berjuang ingin dapat pakaian baru jelang hari raya. Kalau di antara kita ada yang bijak ada jalur khusus untuk bemo, ada jalur khusus sepeda, atau jalur khusus bajaj, ada jalur khusus untuk andong,kota ini akan jadi tujuan wisata romantis bagi orang-orang Eropa yang pernah tinggal di sisni -tentunya para generasi ke 17 nya Jenderal Coen. Sayang kita tidak punya selera terhadap peninggalan sejarah yang sebetulnya laku dijual, liat saja kota tua Jakarta, tak terawat.
Kembali pada nasib bemo, sebetulnya saya sich tidak terlalu sedih jika dibuat museum untuk mengenangnya, bangsa ini terlalu sombong buang sesuatu yang lama, mending yang baru buatan sendiri itupun barang import dari Jepang, Korea, atau Malay seperti proton yang menguras devisa negara.
Alasanya bikin macet, macet itu kan karena tidak pernah membuat solusi cepat untuk mengatasinya,malah lebih baik memindah ibukota, memangnya kalau ibukota pindah siapa yang mau ikut presiden, saya sich tetap di sini bersama 12 juta penduduk lain. Artinya Jakarta ya tetap macet. Jadi jangan cuma melarang bemo beroperasi tapi segera realisasikan MRT, lanjutkan monorel, buat subway, atau waterway di atas Ciliwung yang suatu saat airnya jernih seperti di muaranya. Bisa gak Bang Foke? Kalau tidak cukup satu periode saja jangan lantas punya partai baru yaa....

Alun alun Yogyakarta yang menjadi area untuk warga Yogya berekspresi,berkesenian, berbudaya, atau berjalan mundur untuk bisa lulus menembus dua beringin kurung, kini tampak semrawut dengan berdirinya tenda-tenda yang menjadi atap bagi pedagang kaki 5. Pada sisi kemanusiaan memperbolehkan para pedagang membangun tenda tentu hal yang bijaksana apalagi jika Ngarso Dalem memberikan peluang untuk itu, tentunya izinnya tidak dikeluarkan oleh sultan , terlalu remeh temeh. Namun mata rasanya tidak sedap, apalagi Yogya senantiasa menjadi magnet bagi wisatawan lokal maupun dari negeri manca. Waktu saya ke Yogya pada Mei lalu masih ada rombongan atau perorangan bule-bule baik yang dari Belanda maupun Australia yang menyambangi keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu. Maka akan sangat indah kalau pedagang kaki 5 di sekitar alun alun itu direlokasi, tujuanya bukan mengusir para pedagang kecil tetapi semata-mata untuk kesejukan mata memandang, kalau Yokyakarta ku tetap jadi tujuan wisata yang eksotik dan menawan.