Sabtu, 28 Agustus 2010

Bemo yang tergilas metropolitan


Masih ada bemo di Jakarta? Mungkin Anda akan bertanya ulang. Masih ada gak ya? Jawabnya tentu masih ada, meski tinggal sisa-sisanya saja yang ada. Beberapa waktu lalu saya melewati Jatibaru Tenabang ada beberapa bemo yang sepertinya kehabisan tenaga, yang bersaing dengan moda transportasi modern transjakarta yang merupakan karya petinggi Jakarta kala itu Sutiyoso, atau akan digempur oleh MRT yang masih baru cita-citanya Bang Foke Kumis.

Bemo alata transportasi masa lampau, tidak akan ditemui di jalan-jalan atau minimal sebuang gang di Jakarta, kota ini sudah penuh sesak, pejalan kaki saja kerepotan waktu jalan di Tanabang menjelang lebaran, maklum semua berjuang ingin dapat pakaian baru jelang hari raya. Kalau di antara kita ada yang bijak ada jalur khusus untuk bemo, ada jalur khusus sepeda, atau jalur khusus bajaj, ada jalur khusus untuk andong,kota ini akan jadi tujuan wisata romantis bagi orang-orang Eropa yang pernah tinggal di sisni -tentunya para generasi ke 17 nya Jenderal Coen. Sayang kita tidak punya selera terhadap peninggalan sejarah yang sebetulnya laku dijual, liat saja kota tua Jakarta, tak terawat.

Kembali pada nasib bemo, sebetulnya saya sich tidak terlalu sedih jika dibuat museum untuk mengenangnya, bangsa ini terlalu sombong buang sesuatu yang lama, mending yang baru buatan sendiri itupun barang import dari Jepang, Korea, atau Malay seperti proton yang menguras devisa negara.

Alasanya bikin macet, macet itu kan karena tidak pernah membuat solusi cepat untuk mengatasinya,malah lebih baik memindah ibukota, memangnya kalau ibukota pindah siapa yang mau ikut presiden, saya sich tetap di sini bersama 12 juta penduduk lain. Artinya Jakarta ya tetap macet. Jadi jangan cuma melarang bemo beroperasi tapi segera realisasikan MRT, lanjutkan monorel, buat subway, atau waterway di atas Ciliwung yang suatu saat airnya jernih seperti di muaranya. Bisa gak Bang Foke? Kalau tidak cukup satu periode saja jangan lantas punya partai baru yaa....

borobudur tetap menawan


meski usianya kian menua tak layaknya manusia, jika perempuan akan jadi seorang nenek yang keriput, apabila lelaki akan menjadi kakek renta yang berjalan terhuyung. tak demikian dengan borobudur di kawasan muntilan jawa tengah sosoknya kian menawan,yang belum sempat menyambanginya senantiasa bertanya pada dirinya kapan saya bisa ke sana ya, yang sudah acapkali kesana juga terkenang-kenang untuk kembali, apalagi yang memiliki kesan romantik terkait dengan kisah asmara,meski ada mitos jika pasangan muda-mudi yang sedang berpacaran dimohon tak berkunjung ke borobudur karena bisa menyebabkan keretakan hubungan bahkan bisa terputusnya jalinan cinta. tapi saya tidak percaya kata seorang pengunjung yang pada masa pacaran fotonya sedang berduaan itu diunggah pada akun fb nya,sampai kini belum lekang dengan pasangannya itu. kembali pada borobudur yang masih anggun di usianya yang sudah beberapa abad tetap mengagumkan, saya tentunya bangga sebagai bangsa yang memiliki peninggalan leluhur itu. betapa perkasanya bangsaku bisa membangun candi yang megah itu, masa itu tentunya belum ada alat berat yang membantu mengangkat batu-batu besar, belum ada pabrik semen, belum ada kontraktor besar yang selalu menang tanpa tender, namun karyanya memiliki cita rasa seni yang tinggi. kalau ada narasumber yang masih hidup televisi pasti sering mewawancarainya, berapa lama membangun candi itu, pakai alat apa kok bisa semegah itu, atau berapa untungnya dari membangun proyek mercusuar itu dari sang wangsa penguasa saat itu syalaindra. ada tidak mandornya yang harus berurusan dengan kpk. tetapi sepertinya borobudur dibangun dengan ketulusan sehingga kemegahannya tetap abadi,tidak seperti pembangunan proyek proyek masakini yang dananya disunat untuk pilkada seorang petahana kepala daerah yang ingin memajukan dirinya,isteri mudanya, putera bungsunya atau dirinya yang turun pangkat cukup jadi wakil walikota.